Hari ini, Rabu 9 Mei
2012 pukul 19.30. Hari dimana terjadi kerusuhan antara pendatang dan penduduk
di desa sebelah asramaku, aku dan seseorang yang ku anggap kekasih
mengalami sebuah kejadian yang menurutku sangat memilukan. Di belakang kantor
Telekomunikasi kita bersantap malam. Di bawah tenda dan suasana kota Jogja yang
bersahabat membuatku nafsu makanku bertambah. Hanya dengan sepiring siomay, aku
dan dia bersantap sembari berbincang tentang seorang bajingan yang menyebutku
wanita murahan. Kali ini aku belum merasa iba untuk menceritakan orang itu.
Mungkin tanganku masih terlalu arogan untuk menceritakan kisah dan ocehannya.
Tanganku lebih memilih mengetik sebuah tulisan tentang Bapak Tukang Parkir yang
bekerja di warung tenda siomay tempat kami bersantap malam tadi. Ia menghitung
hasil pekerjaannya sembari duduk di trotoar, disebelah mobil mewah. Saat itu
sangat terlihat kontrasnya keadaan negeriku yang disebut banyak orang sebagai
negara yang indah. Di kota yang orang bilang penuh dengan kesederhanaan dan
keramahan. Mungkin iya, jika kalian bertemu dengan Bapak ini dan tidak memilih
pergi ke Mall-mall yang penuh dengan orang-orang memilih barang-barang mewah
penuh dengan kesombongan.
Aku menulis kisah
tentang Bapak Tukang Parkir tanpa tahu siapa namanya. Jam malam asrama
membatasiku untuk berbincang lama dan mengenalnya lebih jauh. Padahal sudah
berkali-kali aku datang ke tenda itu dan bertemu dengan Bapak Tukang Parkir
tadi. Untuk yang sudah sering makan di warung tenda tersebut mungkin tidak
asing dengan Bapak Tukang Parkir. Itupun kalau kalian memperhatikan Bapak itu.
Aku tidak tahu bagaiamana perasaan kalian ketika melihat Bapak Tukang Parkir tadi bekerja sembari menahan rasa
kantuknya dan berjuang dengan tubuhnya yang sudah tua. Entah berapa umur bapak
itu jika janggutnya sudah ditumbuhi jenggot beruban yang panjang, dan giginya
bisa kita hitung dengan jari saat melihatnya tersenyum. Aku tertegun sejenak
melihat kelopak matanya yang sudah berkerut. Pipinya sudah mulai kempot dan
pergelangan tangannya sudah tidak cukup kuat untuk mendorong motor kekasihku
kebelakang. Pertemuan singkat kami diakhiri saat kekasihku berkata kita harus
segera pulang ke asrama. Saat itu juga dia baru selesai mengatakan “ten Bluyah,
celak Muhi” (di Bluyah, dekat Muhi).
Sekarang aku tahu dimana tempat tinggalnya. Aku tahu daerah situ. Dulu semasa
SMA ada seorang sahabat karibku yang tinggal disitu. Di dekat SMA Muhammadiyah
1 Yogyakarta.
Keramahan Jogja
masih ku rasakan saat itu. Tapi berhenti ketika aku menyelesaikan perbincangan
dan mendengar Bapak tua tadi mengatakan “ngati-ati nok, mugi kalimpahan berkah
saking Gusti. Maturnuwun sanget” (hati-hati
nak, semoga diberikan berkat yang berlimpah dari Tuhan. Terimakasih banyak)
saat aku memberikan uang lebih untuk jasanya. Seketika itu juga beliau tersenyum sederhana yang semakin membuatku
ingin memeluknya.
Kejadian tadi
mengingatkanku tentang kejadian hari Minggu lalu saat aku hendak mengajar
Sekolah Minggu di Gereja depan kampusku. Letak kampusku cukup strategis dengan
dikelilingi pertokoan yang mendukung kegiatan mahasiswa seperti tempat print,
tempat fotocopy dan lain sebagainya. Waktu itu, sekitar pukul 07.00 WIB aku
berjalan dari arah SMA sesepuhku dulu menjabat kepala sekolah sekaligus
mendirikan yayasan serta sekolah kekasihku, menuju ke Gereja depan kampus.
Ketika aku berjalan santai, aku tidak sengaja menengok ke arah kanan dan
melihat pemandangan yang tidak kalah membuatku iba sekaligus takjub. Ada
seorang bapak-bapak memotong-motong botol minuman bekas dengan gunting.
Disebelah kirinya masih banyak botol-botol plastik serupa dengan yang ada di
tangannya. Disebelah kanannya kira-kira ada 3 botol yang sudah selesai ia hias.
Tepat diantara tubuhnya dan botol-botol yang sudah jadi tadi ada beberapa
peralatan kerjanya; gunting, benang, penggaris, bolpoint, dan lain sebagainya.
Saat itu juga aku langsung ingin menangis. Mungkin terlihat berlebihan tapi
mungkin ini sisi sensitifku. Disamping aku diajarkan kakakku untuk menjadi
manusia yang penuh perencanaan hidup, tegar, dan keras. Aku juga diajarkan
ibuku untuk peka terhadap orang lain. Rasa ibaku mungkin juga menurun dari
bapakku yang memiliki sisi lembut dibalik rasa cueknya. Aku tidak bisa berkata
apapun. Tidak bisa bercakap-cakap walaupun hanya sebentar seperti yang
kulakukan dengan Bapak Tukang Parkir tadi. Hanya untuk sekedar mengetahui
namanya pun tidak. Aku terus berjalan menuju Gereja dimana aku akan
berpelayanan.
Tunggu, ada temanku
datang. Mau apa dia? Tidak tahukah dia aku sedang mengetik sebuah kesaksianku
akan peristiwa miris di kota ini? Sepotong cerita miris di negeri ini? Oh,
ternyata ia pun mempunyai cerita yang sama. Bahkan menurutku lebih
menganggumkan ketika ia mencerikan seorang nenek-nenek tua mengayuh sepedanya
jam 4 sore tadi, melewati Jl.Dr Wahidin Sudirohusodo dengan berpakain lengkap
dengan jarik tuanya dan kebaya. Lengkap berpakaian kebaya tradisional. Bukan
kebaya sekarang yang entah karena apa menjadi hilang kecantikan anggunnya. Ia
mengenakan kebaya aslinya, bukan kebaya yang telihat belahan dadanya. Ia
mengenakan jarik tuanya yang panjang dan anggun dalam bayanganku, bukan jarik
yang dipakai selutut yang entah apa alasan orang banyak pakaiannya menjadi
seperti itu. Mode? Merusak menurutku! Lupakan pakaian orang-orang mode jaman
sekarang yang menghilangkan nilai keindahannya. Mari kembali ke sosok seorang
puteri yang sedang bersepeda sembari membawa karung penuh entah apa isinya
diatas boncengan sepedanya. Didepan ia membawa beberapa sisir pisang. Entah
akan kemana puteri itu. Apakah mungkin akan ke singgasananya? Mungkin iya.
Mungkin ia akan menuju singgasananya dimana banyak orang mengelu-elukan namanya
karena perjuangan sang puteri yang tak kenal lelah agar semua orang melihat
wanita bisa benar-benar bekerja. Ia benar-benar puteri bagiku. Disaat banyak
orang menyuarakan suara perempuan yang mampu berkarya dengan duduk bersilang
kaki ditempat dingin, beliau turun kejalan membuktikan. Disaat banyak orang
bersuara seakan-akan membela pihaknya, ia berusaha agar tidak tertindas oleh
keadaan yang dibuat oleh orang-orang berduit yang mungkin salah satunya adal
orang yang menyuarakan pembelaan kaum perempuan tadi.
Hanya ada 3 contoh
yang bisa aku tuliskan disini. Yang lainnya? Masih belum bisa tertulis disini.
Tapi aku yakin, disaat aku menulis sembari duduk-duduk dengan nyaman dan
ditemani secangkir kopi, diluar sana banyak putri dan raja yang membuktikan
tulisanku ini benar-benar ada. Benar-benar ada di kota yang banyak orang
menyebutnya kota yang nyaman. Untuk para wisatawan iya, karena mereka tidak
merasakan kepanasan dalam perjuangan mencari uang. Ceritaku benar-benar ada di
kota yang banyak orang menyebutnya kota yang sopan. Untuk para orang-orang kaya
iya, karena mereka tidak merasakan menghitung koin disebelah mobil mewah berisi
anak-anak muda yang arogan.
Aku hidup di kota
yang menurutku indah. Akupun hidup diantara orang-orang tadi. Aku mencintai
kota ini, tapi tidak keadaannya. Aku mencintai orang-orang disini tapi tidak
kesenjangannya. Aku cinta kehangatan kota ini, tapi tidak kemunafikkannya.
Asrama UKDW di Seturan bilik nomor 313
Yemima Yektining Utami