Minggu, 13 Mei 2012

MIRIS


Hari ini, Rabu 9 Mei 2012 pukul 19.30. Hari dimana terjadi kerusuhan antara pendatang dan penduduk di desa sebelah  asramaku,  aku dan seseorang yang ku anggap kekasih mengalami sebuah kejadian yang menurutku sangat memilukan. Di belakang kantor Telekomunikasi kita bersantap malam. Di bawah tenda dan suasana kota Jogja yang bersahabat membuatku nafsu makanku bertambah. Hanya dengan sepiring siomay, aku dan dia bersantap sembari berbincang tentang seorang bajingan yang menyebutku wanita murahan. Kali ini aku belum merasa iba untuk menceritakan orang itu. Mungkin tanganku masih terlalu arogan untuk menceritakan kisah dan ocehannya. Tanganku lebih memilih mengetik sebuah tulisan tentang Bapak Tukang Parkir yang bekerja di warung tenda siomay tempat kami bersantap malam tadi. Ia menghitung hasil pekerjaannya sembari duduk di trotoar, disebelah mobil mewah. Saat itu sangat terlihat kontrasnya keadaan negeriku yang disebut banyak orang sebagai negara yang indah. Di kota yang orang bilang penuh dengan kesederhanaan dan keramahan. Mungkin iya, jika kalian bertemu dengan Bapak ini dan tidak memilih pergi ke Mall-mall yang penuh dengan orang-orang memilih barang-barang mewah penuh dengan kesombongan.

Aku menulis kisah tentang Bapak Tukang Parkir tanpa tahu siapa namanya. Jam malam asrama membatasiku untuk berbincang lama dan mengenalnya lebih jauh. Padahal sudah berkali-kali aku datang ke tenda itu dan bertemu dengan Bapak Tukang Parkir tadi. Untuk yang sudah sering makan di warung tenda tersebut mungkin tidak asing dengan Bapak Tukang Parkir. Itupun kalau kalian memperhatikan Bapak itu. Aku tidak tahu bagaiamana perasaan kalian ketika melihat Bapak Tukang  Parkir tadi bekerja sembari menahan rasa kantuknya dan berjuang dengan tubuhnya yang sudah tua. Entah berapa umur bapak itu jika janggutnya sudah ditumbuhi jenggot beruban yang panjang, dan giginya bisa kita hitung dengan jari saat melihatnya tersenyum. Aku tertegun sejenak melihat kelopak matanya yang sudah berkerut. Pipinya sudah mulai kempot dan pergelangan tangannya sudah tidak cukup kuat untuk mendorong motor kekasihku kebelakang. Pertemuan singkat kami diakhiri saat kekasihku berkata kita harus segera pulang ke asrama. Saat itu juga dia baru selesai mengatakan “ten Bluyah, celak Muhi” (di Bluyah, dekat Muhi). Sekarang aku tahu dimana tempat tinggalnya. Aku tahu daerah situ. Dulu semasa SMA ada seorang sahabat karibku yang tinggal disitu. Di dekat SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta.
Keramahan Jogja masih ku rasakan saat itu. Tapi berhenti ketika aku menyelesaikan perbincangan dan mendengar Bapak tua tadi mengatakan “ngati-ati nok, mugi kalimpahan berkah saking Gusti. Maturnuwun sanget” (hati-hati nak, semoga diberikan berkat yang berlimpah dari Tuhan. Terimakasih banyak) saat aku memberikan uang lebih untuk jasanya. Seketika itu juga beliau  tersenyum sederhana yang semakin membuatku ingin memeluknya.

Kejadian tadi mengingatkanku tentang kejadian hari Minggu lalu saat aku hendak mengajar Sekolah Minggu di Gereja depan kampusku. Letak kampusku cukup strategis dengan dikelilingi pertokoan yang mendukung kegiatan mahasiswa seperti tempat print, tempat fotocopy dan lain sebagainya. Waktu itu, sekitar pukul 07.00 WIB aku berjalan dari arah SMA sesepuhku dulu menjabat kepala sekolah sekaligus mendirikan yayasan serta sekolah kekasihku, menuju ke Gereja depan kampus. Ketika aku berjalan santai, aku tidak sengaja menengok ke arah kanan dan melihat pemandangan yang tidak kalah membuatku iba sekaligus takjub. Ada seorang bapak-bapak memotong-motong botol minuman bekas dengan gunting. Disebelah kirinya masih banyak botol-botol plastik serupa dengan yang ada di tangannya. Disebelah kanannya kira-kira ada 3 botol yang sudah selesai ia hias. Tepat diantara tubuhnya dan botol-botol yang sudah jadi tadi ada beberapa peralatan kerjanya; gunting, benang, penggaris, bolpoint, dan lain sebagainya. Saat itu juga aku langsung ingin menangis. Mungkin terlihat berlebihan tapi mungkin ini sisi sensitifku. Disamping aku diajarkan kakakku untuk menjadi manusia yang penuh perencanaan hidup, tegar, dan keras. Aku juga diajarkan ibuku untuk peka terhadap orang lain. Rasa ibaku mungkin juga menurun dari bapakku yang memiliki sisi lembut dibalik rasa cueknya. Aku tidak bisa berkata apapun. Tidak bisa bercakap-cakap walaupun hanya sebentar seperti yang kulakukan dengan Bapak Tukang Parkir tadi. Hanya untuk sekedar mengetahui namanya pun tidak. Aku terus berjalan menuju Gereja dimana aku akan berpelayanan.

Tunggu, ada temanku datang. Mau apa dia? Tidak tahukah dia aku sedang mengetik sebuah kesaksianku akan peristiwa miris di kota ini? Sepotong cerita miris di negeri ini? Oh, ternyata ia pun mempunyai cerita yang sama. Bahkan menurutku lebih menganggumkan ketika ia mencerikan seorang nenek-nenek tua mengayuh sepedanya jam 4 sore tadi, melewati Jl.Dr Wahidin Sudirohusodo dengan berpakain lengkap dengan jarik tuanya dan kebaya. Lengkap berpakaian kebaya tradisional. Bukan kebaya sekarang yang entah karena apa menjadi hilang kecantikan anggunnya. Ia mengenakan kebaya aslinya, bukan kebaya yang telihat belahan dadanya. Ia mengenakan jarik tuanya yang panjang dan anggun dalam bayanganku, bukan jarik yang dipakai selutut yang entah apa alasan orang banyak pakaiannya menjadi seperti itu. Mode? Merusak menurutku! Lupakan pakaian orang-orang mode jaman sekarang yang menghilangkan nilai keindahannya. Mari kembali ke sosok seorang puteri yang sedang bersepeda sembari membawa karung penuh entah apa isinya diatas boncengan sepedanya. Didepan ia membawa beberapa sisir pisang. Entah akan kemana puteri itu. Apakah mungkin akan ke singgasananya? Mungkin iya. Mungkin ia akan menuju singgasananya dimana banyak orang mengelu-elukan namanya karena perjuangan sang puteri yang tak kenal lelah agar semua orang melihat wanita bisa benar-benar bekerja. Ia benar-benar puteri bagiku. Disaat banyak orang menyuarakan suara perempuan yang mampu berkarya dengan duduk bersilang kaki ditempat dingin, beliau turun kejalan membuktikan. Disaat banyak orang bersuara seakan-akan membela pihaknya, ia berusaha agar tidak tertindas oleh keadaan yang dibuat oleh orang-orang berduit yang mungkin salah satunya adal orang yang menyuarakan pembelaan kaum perempuan tadi.

Hanya ada 3 contoh yang bisa aku tuliskan disini. Yang lainnya? Masih belum bisa tertulis disini. Tapi aku yakin, disaat aku menulis sembari duduk-duduk dengan nyaman dan ditemani secangkir kopi, diluar sana banyak putri dan raja yang membuktikan tulisanku ini benar-benar ada. Benar-benar ada di kota yang banyak orang menyebutnya kota yang nyaman. Untuk para wisatawan iya, karena mereka tidak merasakan kepanasan dalam perjuangan mencari uang. Ceritaku benar-benar ada di kota yang banyak orang menyebutnya kota yang sopan. Untuk para orang-orang kaya iya, karena mereka tidak merasakan menghitung koin disebelah mobil mewah berisi anak-anak muda yang arogan.
Aku hidup di kota yang menurutku indah. Akupun hidup diantara orang-orang tadi. Aku mencintai kota ini, tapi tidak keadaannya. Aku mencintai orang-orang disini tapi tidak kesenjangannya. Aku cinta kehangatan kota ini, tapi tidak kemunafikkannya.
Asrama UKDW di Seturan bilik nomor 313
Yemima Yektining Utami